Senin, 13 Juni 2011

Proposal PTK Bahasa Inggris

PROPOSAL
PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK)
(CLASSROOM ACTION RESEARCH)

PENGGUNAAN TEKNIK DICTOGLOSS UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN MENYIMAK PADA PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS
DI SMK NEGERI 2 MALANG

Oleh :
Iwik Pratiwi, S.Pd
NIP. 19690402 199703 2 005

DINAS PENDIDIKAN KOTA MALANG
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 2 MALANG
2011

A. JUDUL PENELITIAN TINDAKAN KELAS
PENGGUNAAN TEKNIK DICTOGLOSS UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN MENYIMAK PADA PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI
SMK NEGERI 2 MALANG

B. PENDAHULUAN
Berdasarkan hasil pemetaan Try Out Ujian Nasional yang telah dilaksanakan tiga kali selama periode September 2010 sampai dengan Januari 2011, kemampuan menyimak siswa kelas XII SMK Negeri 2 Malang masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya prosentase ketuntasan pada soal soal menyimak yang disajikan. Rendahnya kemampuan menyimak ini disebabkan:
1) Sebagian besar guru Bahasa Inggris di SMK Negeri 2 Malang masih lebih banyak mengajar dengan metode ceramah dan ekspository. Hal ini sangat dipahami karena masa belajar kelas XII yang lebih pendek dari pada kelas X dan XI , sehingga sebagian besar guru mengejar target kurikulum tanpa memperhitungkan keterserapan pembelajaran pada siswa. Selain itu, alokasi jam pembelajaran juga banyak terkurangi karena banyaknya kegiatan akademis dan non akademis yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan proses penuntasan belajar
siswa kelas XII.
2) Terbatasnya fasilitas pembelajaran untuk mendukung kemampuan menyimak seperti laboratorium bahasa, tape recorder, speaker dan lain lain mengakibatkan sebagian guru tidak mendapatkan kesempatan untuk mengajar menyimak atau lebih memilih untuk mengajar kemampuan lain, karena mengajar menyimak dianggap lebih merepotkan dan membutuhkan banyak persiapan.
3) Rendahnya kualitas pembelajaran juga merupakan faktor penyebab rendahnya kemampuan menyimak. Para guru yang mengajar siswa kelas XII dituntut untuk lebih banyak mempersiapkan anak didiknya menghadapi Ujian Nasional. Namun kebijakan ini lebih banyak diterjemahkan dengan cara menyajikan pembelajaran berbasis Ujian Nasional, dengan kata lain penyajian pembelajaran lebih ditekankan pada pembahasan soal soal try out dan prediksi Ujian Nasional. Akibatnya pembelajaran masih berpusat pada guru dan sebagian besar siswa
masih pasif.
Tidak mengherankan jika sampai saat ini Bahasa Inggris masih menjadi mata pelajaran yang menakutkan dan bahkan membosankan bagi kelas XII, dan jika hal ini berlanjut, dikuatirkan akan mempengaruhi hasil Ujian Nasional. Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran menyimak pada pelajaran Bahasa Inggris di SMK Negeri 2 Malang perlu diterapkan metode pembelajaran inovatif yang memberikan peluang kepada siswa untuk mengaktualisasikan dirinya. Maka teknik dictogloss dipilih sebagai salah satu jalan keluar permasalahan tersebut. Teknik ini dipilih karena menonjolkan kerjasama dalam merekonstruksi bahan simakan sehingga siswa yang mempunyai kemampuan lebih bisa membantu siswa yang kemampuannya kurang. Selainn itu, juga didasarkan atas keunggulan yang dimiliki teknik dictogloss.

C. PERUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian tindakan kelas ini permasalahan yang akan dicari penyelesaiannya adalah sebagai berikut
1) Bagaimana menggunakana teknik dictogloss untuk meningkatkan kemampuan menyimak dalam pembelajaran Bahasa Inggris kelas XII di SMK Negeri 2 Malang?
2) Bagaimana peningkatan kemampuan menyimak siswa SMK Negeri 2 Malang setelah menggunakan teknik dictogloss?

D. PEMECAHAN MASALAH
Sebagaimana dipaparkan pada bagian pendahuluan, permasalahan utama yang menyebabkan rendahnya kemampuan menyimak siswa kelas XII adalah karena rendahnya kualitas pembelajaran Bahasa Inggris, dan untuk memecahkan masalah itu guru perlu menerapkan teknik pembelajaran yang berpusat pada siswa. Teknik Dictogloss dipilih karena teknik ini lebih banyak melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Penelitian Tindakan Kelas ini menggunakan model Kemmis dan Tagart yang terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, obsertavasi, serta reflkesi. Sasaran penelitian ini adalah siswa kelas kelas XII SMK Negeri 2 Malang semester ganjil tahun pelajaran 2010/2011. Pembelajaran menyimak dengan
teknik dictogloss dilaksanakan dengan empat tahap yaitu persiapan, dikte, rekonstruksi, serta analisis dan koreksi. Kemampuan menyimak siswa didasarkan pada nilai akhir dan ketuntasan secara klasikal.

Secara teknis langkah langkah pembelajaran meliputi :
1) Merancang rencana pembelajaran yang berorientasi pada teknik dictogloss
2) Melakukan pemodelan oleh peneliti dan diikuti oleh guru
3) Melakukan peer teaching dimana guru mencoba menerapkan teknik bersama dengan peneliti dan tim guru Bahasa Inggris SMK Negeri 2 Malang.
4) Memperbaiki Rencana pembelajaran agar dapat diimplementasi dengan baik.
5) Menerapkan teknik Dictogloss di kelas
6) Evaluasi dan refleksi

E. DEFINISI OPERASIONAL
1) Menyimak adalah mendengarkan dengan penuh pemahaman, perhatian, apresiasi, dengan interpretasi untuk memperoleh informasi, mencakup ide atau pesan serta memahami makna komunikasi yang disampaikan pembicara mulai ujaran atau bahasa lisan”. Pernyataan ini mengingatkan kita untuk memahami makna komunikasi yang disampaikan pembicara, kita harus mendengarkan baik – baik dengan penuh perhatian. Peristiwa menyimak selalu diawali dengan mendengarkan bunyi bahasa baik secara langsung atau melalui rekaman. Bunyi bahasa yang ditangkap oleh telinga didefinisikan bunyinya. Menurut Tarigan (1991:4) “Menyimak adalah suatu proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa, mengidentifikasi, menginterpretasi, menilai, dan mereaksi atas makna yang terkandung didalamnya” Jadi menyimak adalah proses pemahaman informasi mulai alat pendengaran sehingga mampu mengingat, mengidentifikasi, menginterpretasi, menilai, baik memerlukan segenap kemampuan menyimak dari mendengar sampai dengan mereaksi bahasa simakan.

2) Dictogloss adalah kegiatan pembelajaran dengan teknik dikte; siswa mendengarkan wacana lisan, mengidentifikasi kata kunci dan bekerja sama secara berkelompok untuk merekonstruksi kembali wacana yang didiktekan. Teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh Ruth Wajnryb (1990) sebagai alternative metode pembelajaran tata bahasa atau grammar.

F. LINGKUP PENELITIAN
Penelitian ini meliputi materi Bahasa Inggris kelas XII semester ganjil dengan kompetensi dasar :
G. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk “meningkatkan kemampuan menyimak siswa kelas XII SMK Negeri 2 Malang dengan menggunakan teknik Dictogloss.”

H. MANFAAT HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian tindakan kelas ini akan memberikan kontribusi positif bagi siswa, guru, dan sekolah yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Bagi siswa. Pembelajaran menyimak dengan teknik Dictogloss akan memberikan pengalaman langsung bagi siswa untuk menyimak dan bekerja sama dalam kelompok. Hal ini akan meningkatkan motivasi siswa untuk meningkatkan kemampuannya dalam menyimak.
2) Bagi Guru. Penerapan teknik Dictogloss ini diharapkan dapat memecahkan masalah pembelajaran menyimak bagi guru dan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran Bahasa Inggris.
3) Bagi Sekolah. Terlaksananyaa penelitian tindakan kelas ini dapat digunakan sebagai acuan lebih lanjut dalam upaya upaya peningkatan kompetensi guru dan sebagai refleksi dan masukan pada revisi kurikulum pembelajaran Bahasa Inggris.

I. TINJAUAN PUSTAKA
1) Pembelajaran Konstruktivistik
Pembelajaran menyimak dalam kelas Bahasa Inggris yang dilakukan di SMK Negeri 2 Malang sebagian besar didominasi kegiatan ceramah dan ekspository. Guru menyajikan wacana lisan dalam bentuk contoh contoh soal, siswa diminta menjawab sesuai instruksi yang diberikan sebelumnya. Jika siswa belum memahami wacana lisan yang disajikan, guru akan menyajikan kembali wacana lisan sesuai kebutuhan siswa. Jika jawaban yang diberikan siswa benar, maka guru hanya memberikan sedikit penjelasan mengapa jawaban tersebut benar. Jika jawaban siswa salah maka guru akan memberikan penjelasan tentang wacana lisan yang diperdengarkan, dan sebagian besar hanya mengenai tata bahasa dan kosa kata yang ada dalam wacana lisan tersebut. Setelah itu guru akan menyajikan wacana lisan berikutnya untuk kemudian dibahas seperti sebelumnya, demikian seterusnya. Dalam hal ini siswa hanya mengetahui aspek aspek pembelajaran yang disajikan namun siswa tidak mendapatkan kesempatan untuk merefleksikan
kompetensinya. Keadaan ini terjadi karena siswa hanya diminta untuk menyelesaikan beragam soal dan bukan berarti jika siswa dapat menyelesaikan soal maka siswa tersebut memiliki kompetensi menyimak yang baik.

Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui
proses rekonstruksi. Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri
dalam kehidupan kognitif siswa.

Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar. Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
(1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan,
(2) mengutamakan proses,
(3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social,
(4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.)

Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan.

Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum. Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni
melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.

Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan
kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.

Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya
kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas. (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.

2) Dictogloss
Kata dictogloss berasal bahasa Inggris dan terdiri dari dua kata, yaitu kata dicto atau dictate yang artinya dikte atau imla, dan kata gloss yang artinya tafsir Dictogloss adalah kegiatan pembelajaran dengan teknik dikte; siswa mendengarkan wacana lisan, mengidentifikasi kata kunci dan bekerja sama secara berkelompok untuk merekonstruksi kembali wacana yang didiktekan. Teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh Ruth Wajnryb (1990) sebagai alternative metode pembelajaran tata bahasa atau grammar. Wajnryb berpendapat bahwa teknik Dictogloss memberikan pemahaman grammar yang tepat pada siswa karena pendekatannya yang interaktif memungkinkan terjadinya negoisasi makna dan pola. Dengan bekerja sama siswa terdorong untuk tetap aktif terlibat dalam proses pembelajaran. “Through active learner involvement students come to confront their own strengths and weaknesses in English language use. In so doing, they find out what they do not know, then they find out what they need to know.” (Wajnryb, 1990:10). David Nunan dalam Azies dan Alwasilah, (1996:85), mengemukakan bahwa teknik dictogloss, yaitu sebuah teknik dalam pengajaran menyimak yang tergolong komunikatif. Dalam teknik ini guru membacakan sebuah wacana singkat kepada siswa dengan kecepatan normal dan siswa diminta menuliskan kata sebanyak yang mereka mampu. Mereka kemudian bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk merekonstruksi wacana dengan berdasarkan serpihan-serpihan yang telah mereka tulis. Teknik ini mirip dengan
teknik dikte tradisional, walaupun hanya bersifat superficial. Dengan teknik ini siswa dilatih untuk mendengarkan, memahami, menginterpretasikan serta memberikan tanggapan terhadap informasi yamg didengarkannya. Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa di dalam teknik dictogloss terdapat dua buah teknik yang digunakan sebagai upaya pemahaman sebuah wacana lisan, yakni dikte dan teknik identifikasi kata kunci. Teknik dikte digunakan ketika wacana
diperdengarkan kepada siswa dengan kecepatan normal, sedangkan teknik identifikasi kata kunci digunakan ketika siswa diminta menuliskan kata-kata kunci atau kata-kata isi sebanyak yang mereka mampu. Djago Tarigan (1986:52), menyatakan bahwa identifikasi kata kunci adalah memilih kata yang merupakan pokok pikiran utama dalam wacana, maka dalam teknik dictogloss perlu adanya penemuan kata-kata yang merupakan kata kunci. Wacana lisan yang didengarkan oleh siswa, yaitu berupa rekaman cerita dalam kaset. Rekaman cerita tersebut merupakan salah satu media audio. Ada empat langkah dalam teknik dictogloss yang dikemukan oleh David Nunan dalam Azies dan Alwasillah (1996:86), yaitu:
  1. Persiapan. Pada tahap ini guru mempersiapkan siswa untuk menghadapi teks yang akan mereka dengar dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mendiskusikan gambar stimulus, dengan membahas kosakata, dengan meyakinkan bahwa siswa tahu apa yang harus dilakukan, dan dengan meyakinkan bahwa siswa ada pada kelompok yang sesuai.
  2. Dikte. Pembelajar mendengarkan dikte dua kali. Pertama mereka hanya mendengarkan dan mendapatkan gambaran umum teks tersebut. Kedua, mereka membuat catatan, dengan dimotivasi akan membantu mereka merekontruksikan teks. Untuk alasan konsistensi, lebih baik siswa mendengarkan teks tersebut melalui tape recorder bukan dari teks yang dibacakan guru.
  3. Rekonstruksi. Pada akhir dikte, pembelajar mengumpulkan catatancatatan dan menyusun kembali teks versi mereka. Selama tahap ini perlu diingat bahwa guru tidak memberikan masukan bahasa pada siswa.
  4. Analisis dan Koreksi. Ada berbagai cara untuk menangani tahap ini. Pertama, setiap teks versi siswa bisa ditulis pada papan tulis atau ditayangkan melalui overhead projector (OHP) atau LCD. Kedua, teks bisa diperbanyak dan dibagi-bagikan kepada semua siswa. Ketiga, siswa bisa membandingkan versi mereka dengan teks asli, kalimat demi kalimat.
Teknik dictogloss ini bisa menjadi jembatan yang berguna antara menyimak Bottom up dan Top down. Dalam kasus pertama, pembelajar terutama berurusan dengan bagaimana mengenali unsur-unsur individual dalam teks (strategi bottomup). Namun, selama diskusi kelompok-kelompok kecil, beberapa atau semua strategi top down mungkin disertakan. Pada strategi ini, pembelajar akan mengintegrasikan pengetahuan “dalam kepala” atau background knowledge
mereka. Dengan teknik dictogloss pembelajar akan mampu: 1) membuat prediksi, 2) membuat inferensi-inferensi hal-hal yang tidak ada dalam teks, 3) mengenali topik teks, 4) mengenali jenis teks (apakah naratif, deskriptif, anekdot, dan sebagainya), 5) mengenali berbagai jenis hubungan semantik di dalam teks (Azies dan Alwasilah, 1996:85-86).

J. PROSEDUR PENELITIAN
1) Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas yang mengkaji dan merefleksikan secara mendalam beberapa aspek dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu partisipasi siswa, interaksi guru dan siswa, interaksi antar siswa untuk dapat menjawab permasalahan dan kemampuan siswa dalam menyimak wacana lisan melalui teknik pembelajaran dictogloss. Penelitian ini dibagi dalam dua siklus yang disesuaikan dengan alokasi
waktu dan pokok bahasan yang dipilih. Masing masing siklus terdiri dari empat langkah (Kemmis dan Mc.taggart, 1988) berikut :
  1. perencanaan, yaitu merumuskan masalah, menentukan tujuan dan metode penelitian serta membuat rencana tindakan.
  2. tindakan, yang dilaksanakan sebagai upaya perubahan yang dilakukan menuju arah yang lebih baik.
  3. observasi, dilakukan secara sistematis untuk mengamati hasil atau dampak tindakan terhadap proses belajar mengajar, dan
  4. refleksi, yaitu mengkaji dan mempertimbangkan hasil atau dampak tindakan yang dilakukan.
2) Subyek Penelitian
Sasaran penelitian adalah siswa kelas XII SMK Negeri 2 Malang yang beralamat di Jl. Veteran No. 17 Malang.

3) Pelaksanaan Penelitian
Siklus pertama
a. Perencanaan.
Dalam siklus ini peneliti menyusun perencanaan tindakan berdasarkan tujuan penelitian yakni menyusun bahan ajar, RPP, skenario pembelajaran, handouts, quis dan lembar observasi.

b. Pelaksanaan
· Siswa diberi penjelasan tentang pembelajaran teknik dictogloss
· Siswa dibagi dalam kelompok kelompok berdasarkan pertimbangan kemampuan akademik
· Pembelajaran dimulai dengan kegiatan apersepsi
· Siswa diminta menyelesaikan soal latihan kosa kata yang berhubungan dengan pokok bahasan pembelajaran
· Guru mengamati proses penyelesaian soal latihan kosa kata dan bersama sama memecahkan soal latihan yang sulit.
· Guru menyajikan wacana lisan yang berhubungan dengan pokok bahasan pembelajaran melalui media audio atau audio visual.
· Guru memberikan pertanyaan pertanyaan global mengenai wacana lisan tersebut dan siswa menjawab secara lisan.
· Siswa menyimak lagi sambil membuat catatan beberapa kata kunci
yang diperoleh dari simakan
· Siswa membandingkan hasil catatan mereka dalam kelompok dan
mengumpulkan semua informasi yang diperoleh dari simakan
· Siswa menyimak sekali lagi lalu secara berkelompok merekonstruksi
hasil simakan mereka.
· Setiap kelompok membacakan hasil rekonstruksi simakan.
· Siswa menganalisis dan merefleksikan hasil rekonstruksi simakan
mereka dengan teks asli dari bahan simakan.
c. Pengamatan
Selama tahap pelaksanaan peneliti melakukan observasi terhadap kegiatan siswa pada saat latihan kosa kata, diskusi hasil catatan kata kunci dan rekonstruksi simakan dengan menggunakan lembar observasi.
d. Refleksi
· Analisis hasil observasi mengenai : keaktifan siswa, hasil kegiatan kelompok, hasil quis dan kaitannya dengan hasil kegiatan kelompok, kualitas rekonstruksi simakan yang dibuat siswa
dipakai sebagai dasar untuk melakukan perencanaan ulang pada siklus berikutnya.
· Analisis beberapa kekurangan / kelemahan. Indikator keberhasilan pada siklus I disajikan pada table berikut :

Siklus Kedua
Siklus kedua dilaksanakan seperti pada siklus pertama, namun sebelumnya didahului dengan perencanaan ulang berdasarkan hasil hasil yang diperoleh pada siklus pertama. Hal ini dilakukan untuk mengeliminir kelemahan kelemahan yang muncul di siklus pertama. Selain itu prosedur pelaksanaan teknik dictogloss dapat di kembangkan untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa sehingga indikatornya meningkat di siklus kedua.

4). Instrumen Penelitian
Beberapa instrumen yang digunakan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah :
a. Lembar observasi
b. Questioner
c. Lembar penilaian hasil pencatatan
d. Lembar penilaian hasil rekonstruksi
e. Kuis atau tes prestasi belajar
5). Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, observasi dan tes. Teknik dokumentasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan masing masing siswa sebagai dasar pembagian kelompok. Teknik observasi digunakan untuk mengetahui kualitas proses belajar mengajar dengan menggunakan lembar observasi dan kamera video, dan test digunakan untuk mengetahui kualitas hasil belajar siswa. Semua data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan cara dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada pengumpulan data sebelumnya.

K. JADWAL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama 3 (tiga) bulan terhitung mulai Januari 2011 hingga Maret 2011,

M. DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, Djago. 1998. Ketrampilan Menyimak. Bandung : Angkasa
Tarigan, Henry Guntur. 1997. Menyimak sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung
Dasna, I Wayan, 2008. Penelitian TIndakan Kelas (PTK). Panitia Sertifikasi Guru,
Universitas Negeri Malang.
Lim, W.L. and Jacobs, G. M. (2001). An analysis of students’ dyadic interaction on a
dictogloss task. ERIC Document Reproduction Service No. ED 456 649.
Storch, N. (1998). A classroom-based study: Insights from a collaborative reconstruction
task. ELT Journal, 52 (4):
George Jacobs, 2003. Combining Dictogloss and Cooperative Learning to Promote
language learning, The Reading Matrix. Vol.3. No.1, April 2003

Minggu, 05 Juni 2011

Dictogloss

This method was introduced by Ruth Wajnryb in 1990. It is a classroom dictation activity where learners listen to a passage, note down key words and then work together to create a reconstructed version of the text. It was originally introduced by Ruth Wajnryb (1990) as an alternative method of teaching grammar. The original dictogloss procedure consists of four basic steps:
  1. Warm-up when the learners find out about the topic and do some preparatory vocabulary work.
  2. Dictation when the learners listen to the text read at a normal speed by the teacher and take fragmentary notes. Thelearners will typically hear the text twice. The first time the teacher reads the text, the students just listen but do not write. The second time, the students take notes.
  3. Reconstruction when the learners work together in small groups to reconstruct a version of the text from their shared resources.
  4. Analysis and correction when students analyze and compare their text with the reconstructions of other students and the original text and make the necessary corrections (Wajnryb, 1990).
Wajnryb argues that this method gives students a more precise understanding of English grammar than do other approaches and consequently leads to higher accuracy in language use. Compared to other more traditional approaches to teaching grammar the value of dictogloss is in its interactive approach to language learning. Text reconstruction promotes both the negotiation of meaning and the negotiation of form. It is a co-operative endeavour which forces learners to stay actively engaged in the learning process. “Through active learner involvement students come to confront their own strengths and weaknesses in English language use. In so doing, they find out what they do not know, then they find out what they need to know.” (Wajnryb, 1990:10). Wajnrub also argues that this integration of testing and teaching stimulates the learners’ motivation. Rather than having the teacher select specific grammatical features and have the students practice them, the students identify their grammar problems and the teacher teaches in response to their needs. Dictogloss has been the subject of a number of studies and commentaries, which have, in most part supported the use of the technique (Swain & Miccoli, 1994; Swain & Lapkin, 1998; Storch, 1998; Nabei, 1996; Lim & Jacobs, 2001). The supporters of the method pointed out that dictogloss are a multiple skills and systems activity.

Variations on Dictogloss
We have used several variations on dictogloss. No doubt, others exist or await creation. The following are dictogloss variation described by George Jacobs and John Small on The Reading Matrix Vol 3, No, 1 April 2003.

Variation A
Dictogloss Negotiation
In Dictogloss Negotiation, rather than group members discussing what they heard when the teacher has finished reading, students discuss after each section of text has been read. Sections can be one sentence long or longer, depending on the difficulty of the text relative to students’ proficiency level.

  1. Students sit with a partner, desks face-to-face rather than side-by-side. This encourages discussion. After reading the text once while students listen, during the second reading, the teacher stops after each sentence or two, or paragraph. During this pause, students discuss but do not write what they think they heard. As with standard dictogloss, the students’ reconstruction should be faithful to the meaning and form of the original but does not employ the identical wording.
  2. One member of each pair writes the pair’s reconstruction of the text section. This role rotates with each section of the text.
  3. Students compare their reconstruction with the original as in Step 5 of the standard procedure
Variation B
Student -Controlled Dictation
In Student -Controlled Dictation, students use the teacher as they would use a tape recorder. In other words, they can ask the teacher to stop, go back, i.e., rewind, and skip ahead, i.e., fast-forward. However, students bear in mind that the aim of dictogloss is the creation of an appropriate reconstruction, not a photocopy.

  1. After reading the text once at normal speed with students listening but not taking notes, the teacher reads the text again at natural speed and continues reading until the end if no student says “stop” even if it is clear that students are having difficulty. Students are responsible for saying “stop, please” when they cannot keep up and “please go back to (the last word or phrase they have written).” If students seem reluctant to exercise their power to stop us, we start reading very fast. We encourage students to be persistent; they can “rewind” the teacher as many times as necessary. The class might want to have a rule that each student can only say “please stop” one time. Without this rule, the same few students – almost invariably the highest level students - may completely control the pace. The lower proficiency students might be lost, but be t oo shy to speak. After each member of the class has controlled the teacher once, anyone can again control one time, until all have taken a turn. Once the class comprehends that everyone can and should control the teacher if they need help, this rule need not be followed absolutely.
  2. Partner conferencing (Step 4 in standard dictogloss) can be done for this variation as well. Student-Controlled Dictation can be a fun variation, because students enjoy explicitly controlling the teacher.
  3. Another way of increasing student control of dictation is to ask them to bring in texts to use for dictation or to nominate topics.
Variation C
Student-Student Dictation
Rather than the teacher being the one to read the text, students take turns to read to each other. Student-Student Dictation works best after students have become familiar with the standard dictogloss procedure. This dictogloss variation involves key elements of cooperative learning, in particular equal participation from all group members, individual accountability (each member takes turns controlling the activity) and positive interdependence as group members explore meaning and correctness together.
  1. A text - probably a longer than usual one - is divided into four or five sections. Each student is given a different section. Thus, with a class of 32 students and a text divided into four sections, eight students would have the first section, eight the second, etc. Students each read the section they have been given and try to understand it. If the text is challenging, students with the same section can initially meet in groups of three or four to read and discuss the meaning.
  2. In their original groups, students take turns reading their section of the text as the teacher would for standard dictation while their groupmates take notes.
  3. Students work with their partners to reconstruct the text, with the students taking the role of silent observer when the section they read is being reconstructed.
  4. For the analysis, Step 5 of the standard procedure, each student plays the role of the teacher when the section they read is being discussed. Every group member eventually plays the role of teacher. Student-Student Dictation can also be done by students bringing in the own texts rather than using a text supplied by the teacher.
Variation D:
Dictogloss Summaries
While in the standard dictogloss procedure students attempt to create a reconstruction of approximately the same length as the original, in Dictogloss Summaries, students focus only on the key ideas of the original text.

  1. Steps 1, 2, and 3 are the same as in standard dictogloss, although to encourage summarizing rather than using the words of the original text, the teacher might ask students not to take any notes.
  2. Students work with a partner to summarize the key points of the text. Here, as well as in other dictogloss variations, we can provide visual cues (sketch, flow chart, photo, mind map) that represents some elements of the story. This aids comprehension and may help students structure their reconstruction. Additionally, students can create visuals to accompany their reconstructions, as another means to demonstrate comprehension and to promote unique reconstructions.
Variation E
Scrambled Sentence Dictogloss
Scrambled Sentences is a popular technique for teaching a number of language skills. Scrambled Sentences Dictogloss employs this technique to raise the difficulty level of dictogloss and to focus students’ attention on how texts fit together.

  1. The teacher jumbles the sentences of the text before reading it to students.
  2. When students reconstruct the text, they first have to recreate what they heard and then put it into a logical order.
  3. When analyzing students’ reconstructions, the class may decide that there is more than one possible correct order. This fits with the overall spirit of dictogloss, i.e., that there is no one correct way to achieve a communicative purpose, although there are certain conventions that should be understood and considered.
Variation F
Elaboration Dictogloss (Airey, 2002)
In Elaboration Dictogloss, students go beyond what they hear to not just recreate a text but also to improve it.

  1. This dictogloss method may be preceded by a review of ways to elaborate, such as adding adjectives and adverbs, examples, facts, personal experiences, and causes and effects.
  2. After taking notes on the text read by the teacher, as in Step 3 of the standard procedure, students reconstruct the text. Then, they add elaborations. These can be factual, based on what students know about the topic of the text or research they do, or students can invent elaborations. For instance, part of the text read by the teacher might be:
Today, many students use bicycles.

Students could simply elaborate by adding a word or two:

Today, many Japanese college students use bicycles.

Or, a sentence or two could be added:

Today, many students use bicycles. This reduces air pollution and helps students stay fit. However, bicycle riding in a crowded city can be dangerous


Variation G
Dictogloss Opinion

In Dictogloss Opinion, after students reconstruct the text, they give their opinion on the writers’ ideas. These opinions can be inserted at various points in the text or can be written at the end of the text. If student commentary is inserted throughout the text, it promotes a kind of dialogue with the original authors of the text.

Variation H
Picture Dictation (Airey, 2002)

Dictation does not always have to involve writing sentences and paragraphs. Instead, students can do other activities based on what the teacher reads to them. For instance, they can complete a graphic organizer. Another possibility, described below, is to draw.

  1. The teacher finds or writes a description of a drawing. The description should include a great deal of detail. Relevant voca bulary and concepts can be reviewed in the discussion that occurs in Step 1 of the standard dictogloss procedure.
  2. Students listen to the description and do a drawing based on what they hear.
  3. Students compare drawings with their partners and make one composite drawing per pair.
  4. Students compare their drawing with the original.
  5. Alternatively, students can reconstruct the description text read by the teacher, as in standard dictogloss, and then do a drawing.
Dictogloss is, of course, just one of many innovative language teaching techniques that embody the current paradigm in education, that are well-suited to cooperative learning, that can benefit from their use with global issues content, and that lend themselves to a host of variations developed by creative second language teachers. The current paradigm is not just about how we teach and how students learn. It is just as much about why students learn and why we teach. It is about seeking to create an atmosphere in which students are self -motivated and take an active role in their own learning and that of their classmates and teachers. Furthermore, as can be seen in this article in the choice of topics for dictogloss, part of this classroom atmosphere can include a desire to understand the world and to make it a better place.